CINTA itu tidak abadi! Nah, itulah kabar mutakhir tentang cinta. Kesimpulan
yang amat "berani" itu dinyatakan dan ditemukan oleh seorang antropologi dari
Amerika Syarikat, Helen Fischer, setelah melakukan penelitian selama
bertahun-tahun. Tapi, mungkinkah cinta boleh di perkutak-katikkan semudah itu,
bahkan sempat dibahas dari segi kimia dan sosial juga budaya, padahal bagi
kebanyakkan orang, cinta identik dengan sebuah benda misteri? Cinta, meskipun
boleh dirasakan, kononnya sangat tidak mudah untuk dimengerti. Ia boleh
meluapkan kebahagiaan sekaligus kesengsaraan. Boleh menciptakan kebebasan, namun
boleh juga membuat manusia bagaikan seorang tawanan.
Cinta jugalah yang menyemburkan segunung kreativiti bagi sebagian penyair
ternama seperti Kahlil Gibran dalam menciptakan puisi, maupun komposer
berkaliber Beet-hoven. Tapi, di sinilah membingungkannya, kadang cinta juga
boleh membuat orang kehilangan semangat sekaligus mengalami kehancuran
kreativiti. Jadi, kalau memang boleh diteliti secara ilmiah, cinta itu
sebenarnya apa?
Dalam hubungan antara jenis pasangan terutama yang sedang dilanda asmara,
fenomena cinta sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dirasakan. Nah, ketika mata
bertemu pandang yang berlanjut pada persentuhan tangan, biasanya orang akan
merasakan gejala yang sama:- darah mengalir lebih cepat, semburat merah muncul
di pipi, peluh dingin membasahi telapak tangan, bahkan menghela napas pun jadi
terasa berat. Dalam situasi seperti inilah hati bagaikan bergolak, disesaki oleh
gelora cinta.
Menurut Helen Fischer seorang "peneliti cinta" di Universiti Boston, Amerika
Syarikat ini lagi, reaksi romantik seperti itu timbul kerana kerja sejumlah
hormon yang ada dalam tubuh, khususnya hormon yang diproduksi otak. Gelora cinta
manusia yang meluap-luap tidak jauh berbezanya dengan reaksi kimia. Malangnya,
senyawa antara hormon ini sangat dekat. Dan, berdasarkan teori Four Years Itch
yang diumumkannya, daya tahan gelora cinta itu hanya mencapai empat tahun saja.
Setelah itu, hancur tampa kesan lagi. Sebagaimana yang terjadi pada sebuah
reaksi kimia, wujudnya tidak akan pernah kembali seperti semula.
Sesungguhnya pula, perasaan yang menghanyutkan dalam masa jatuh cinta tadi
boleh dianalisis secara kimia. Jadi, prosesnya dimulakan pada saat mata saling
bertemu. Tangan yang bersentuhan bagaikan dialiri arus eletrik. Fenomena ini
sudah pasti kerana tindakbalas hormon tertentu yang ada di otak, mengalir ke
seluruh saraf hingga ke pembuluh darah yang terkecil sekalipun. Inilah yang
membuat wajah memerah, dan timbul perasaan "melayang". Aliran darah yang
demikian cepat membuat bernafas pun menjadi berat.
Jika difikir-fikirkan, bagaimana hormon dalam otak bekerja, ketika seseorang
sedang jatuh cinta? Boleh dijelaskan sebagai berikut. Ketika hubungan mata
sedang berlangsung, tertanam suatu `kesan'. Inilah fasa pertama. Otak bekerja
bagaikan komputer yang menyediakan sejumlah data, dan menserasikannya dengan
sejumlah data yang pernah dirakam sebelumnya. Ia mencari apa yang membuat pesona
itu muncul. Kalau sudah begini, bau yang ditimbulkan oleh lawan jenis pun boleh
menjadi pemicu timbulnya rasa romantik.
Fasa kedua, iaitu munculnya hormon phenylethylamine (PEA) yang diproduksi
otak. Inilah sebabnya ketika terkesan oleh seseorang, secara automatik senyum
pun dilontarkan. Spontan, kilang PEA pun aktif bekerja ketika "wisel" mula
dibunyikan. Hormon dopamine dan norepinephrine yang juga terdapat dalam saraf
manusia, turut mendampingi. Hormon-hormon inilah yang menjadi pemicu timbulya
gelora cinta. Setelah dua tiga tahun, efektiviti hormon-hormon ini mula
berkurang.
Fasa ketiga yaitu ketika gelora cinta sudah reda. Yang tersisa hanyalah kasih
sayang. Hormon endorphins , senyawa kimia yang identik dengan morfin, mengalir
ke otak. Sebagaimana efek yang ditimbulkan dadah dan sebagainya, saat inilah
tubuh merasa nyaman, damai, dan tenang.
Ada hormon lain yang akhir-akhir ini dihubungkan dengan cinta. Diproduksi
oleh otak, hormon ini membuat saraf menjadi sensitif. Saat itulah tubuh akan
didorong untuk merasakan sensasi cinta. Hormon ini pulalah yang diduga boleh
mendorong terjadinya proses orgasme ketika bercinta atau melakukan hubungan
seksual.
Teori tentang cinta pernah popular sekitar 9 hingga 10 tahun yang lalu. Lebih
tepat sekali, ketika pendekatan ilmu faal yang membedah tubuh manusia menjadi
popular. Selanjutnya, teori ini kian berkembang dan mula dihubung-hubungkan
dengan bidang ilmu lainnya. Kemudianya, ada juga teori cinta dengan pendekatan
bioneurologi yang melihat, membandingkan, dan mengamati struktur otak orang gila
misalnya, atau psikologi dan fisiologi yang mempelajari kaitan antara perilaku
manusia dan pengaruh hormon pada tubuhnya. Cinta sebenarya sama dengan emosi.
Kalau emosi seringkali ditentukan oleh sejumlah hormon (terutama dalam siklus
menstruasi), maka hal yang sama juga berlaku dalam proses jatuh cinta. Terutama
ketika terjadi cinta pada pandang pertama, ada getaran dalam tubuh. Tapi, apakah
ya, gelora cinta semata-mata ditentukan oleh hormon dalam tubuh?
Diane Lie seorang psikologi sekaligus peneliti rambang pada sebuah Universiti
di Beijing membentangkan teorinya, meskipun urusan cinta boleh dijelaskan secara
kimia, namun kecamuk cinta tidak semata-mata hanya ditentukan oleh aktiviti
hormon, dan manusia tidak berdaya mengatasinya. Juga tidak selalu bererti bila
kadar hormon berkurang, bererti getarannya pun berkurang.
Memang, pemacu semburan cinta (PEA) tadi, memiliki pengaruh kerja yang tidak
tahan lama. Hormon yang secara ilmiah memiliki kesamaan dengan amfetamin ini,
hanya efektif bekerja selama 2-3 tahun saja. Lama kelamaan, tubuh pun bagaikan
imun, `kebal' terhadap si pemicu gelora.
Akan tetapi, sekali lagi, masih menurut Diane, proses jatuh cinta itu tidak
semata-mata hanya dipengaruhi hormon dengan reaksi kimianya. Apalagi dalam
proses orang bercinta hingga menikah, banyak faktor sosial lainnya yang
menentukan. Contohnya proses jatuh cinta yang dalam bahasa jawa dipanggil versi
Tresno Jalaran Soko Kulino" yang bermaksud datangnya cinta
kerana pertemuan
yang berulang-ulang ". Demikian pula ketika kita marah dan ingin memaki orang
lain, hormon memang punya pengaruh khusus, namun tetap ada faktor lain yang ikut
menentukanya.
Manusia merupakan makhluk yang paling kompleks. Jika proses reaksi kimia
terjadi pada haiwan, barulah teori rendahnya daya tahan PEA ini boleh
dipercayai. Jadi, teori Helen Fiscer yang disebut Four Years Itch juga boleh
dipatahkan.
Pendeknya, teori PEA dilandaskan pada pendekatan ilmu eksakta, sedangkan
teori Four Years Itch oleh Fischer yang lingkaran penelitiannya mencakup 62
jenis kultur ini, lebih menggunakan pendekatan sosial.
Fischer, yang juga penulis buku " Anatomy of Love ", menemukan betapa kes
perceraian mencapai puncaknya ketika usia perkawinan mencapai usia empat tahun.
Kalaupun masa empat tahun itu telah dilalui, katanya, kemungkinan itu berkat
hadirnya anak kedua. Kondisi ini membuat perkawinan mereka boleh bertahan hingga
empat tahun lebih.
Jadi, kalau kita main kira-kira, rasanya boleh dikatakan seru juga. Misalnya,
masa bercinta telah dilalui tiga tahun, bererti kesempatan untuk boleh
mempertahankan gelora cinta hanya ada di tahun pertama perkawinan. Lalu apa yang
terjadi ketika masa perkawinan menjejak tahun kedua, ketiga dan seterusnya? Cuma
ada sisa-sisa, atau bahkan punah ranah sama sekali? Lalu bagaimana dengan mereka
yang mengalami masa bercinta lebih dari enam tahun?
Menurut pandangan Diane,
dalam hubungan suami istri atau bercinta, selain cinta, ada hubungan lain yang
sifatnya friendship, (persahabatan). Kalau setelah beberapa waktu cinta itu
menipis - mungkin kerana tersisihkan hal-hal lain, misalnya kerana rutin yang
dilakukan adalah hal-hal yang sama juga setiap hari, lalu segalanya jadi terasa
membosankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar