BANYAK orang berkata dan meyakini bahwa dirinya mencintai orang lain. Pecinta
mengatakan bahwa dirinya mencintai kekasihnya. Suami mengatakan bahwa ia
mencintai istrinya. Guru-guru mengatakan bahwa mereka mencintai murid-muridnya.
Para ibu bapa mengatakan bahwa mereka mencintai anak-anaknya. Dan negara juga
mengatakan bahwa ia sangat mencintai rakyatnya.
Sampai sekarang, kita tidak tahu apa erti sesungguhnya dari kata cinta dan
mencintai. Para ahli falsafah menafsirkan dan menjelaskannya dengan
berbelit-belit, yang justru membuat kita kebingungan. Maka tidak hairan jika
kemudian setiap orang memilih untuk menafsirkan sendiri kata tersebut. Dengan
cara itu, setiap orang punya penafsiran sendiri tentang cinta, tanpa harus
terkongkong oleh logosentrisme definisi cinta yang dibuat oleh mereka kaum
intelektual.
Dari common-sense masyarakat, cinta dapat difahami sebagai sebuah rasa
perhatian dan kasih sayang terhadap yang lain. Cinta adalah pancaran perdamaian,
persahabatan, keakraban, kepedulian terhadap sesama. Dari pemahaman yang
sederhana dan simplistis ini, cinta dapat dimasukan dalam kerangka pembentukan
peradaban yang manusiawi, peradaban yang menjamin hak untuk mencintai dan
dicintai, memperhatikan dan diperhatikan, mempedulikan dan dipedulikan.
Semua agama mengajarkan tentang cinta. Rgveda, Atharwaveda dan Yajurveda
dalam Hindu serta Bible dalam Kristain banyak mengajarkan tentang pentingnya
cinta terhadap sesama. Begitu juga dengan Budha dan Islam. Dalam sebuah Hadist
disebutkan bahwa, 'Tuhan tidak akan mencintai seseorang hingga ia mencintai
jiran-tetangganya (orang lain selain dirinya) sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri'.
Projeksi dari cinta boleh jadi macam-macam. Seorang pecinta membahasakan
cintanya terhadap kekasihnya dengan cara mendatangi, memperhatikan dan
mempedulikannya. Guru membahasakan cinta terhadap murid-muridnya dengan
bimbingan dan pendidikan yang setulusnya. Ibu bapa membahasakan rasa cintanya
terhadap anak-anaknya dengan memperhatikan, melindungi, mencukupi keperluan,
serta memikirkan masa depan sang anak. Sedang negarawan atau negarawanita
membahasakan cinta terhadap rakyatnya dengan pembangunan, perkhidmatan atas
keperluan rakyat dan pelbagai keperluan insfratuktur.
KEMUDIAN apakah cinta yang begitu agung dan tulus itu sudah terjelma dalam
kehidupan sehari-hari? Jawabnya adalah belum. Mengapa? Karena cinta yang selama
ini ada masih diwarnai dengan naluri kepemilikan, pengaturan dan penguasaan. Dan
itu nampaknya sudah dianggap wajar dan diterima begitu saja (taken for granted).
Para pecinta masih banyak yang membatasi ruang gerak kekasihnya dengan berbagai
alasan, dimana ini boleh membunuh kreativiti serta produktiviti si kekasih. Para
guru masih banyak yang mendiskreditkan muridnya, kerana keberanian sang murid
dalam melontarkan kritikan terhadapnya. Dalam sistem kekeluargaan, fenomena ini
pun sering terjadi. Orang tua mengawal anak-anaknya dengan begitu ketat dan
menekankan si anak untuk mengikuti segala nasihat-nasihatnya, keinginannya,
kemauannya, ambisi-ambisinya, tanpa memberi kebebasan kepada si anak untuk
memilih. Maka yang terjadi kemudian adalah tekanan psikologi yang membuat anak
rasa terpaksa dari dirinya dan dari apa yang dilakukannya.
Di sini dapat dilihat bahwa pecinta, guru dan ibubapa lebih mencintai dirinya
sendiri daripada kekasihnya (murid dan anaknya). Dengan apa yang mereka lakukan,
sebenarnya mereka ketakutan jika kuasa dan autoritinya yang tertanam dalam diri
orang-orang yang mereka cintai itu pudar.
Dalam sebuah sistem kekuasaan, naluri pengaturan dan penguasaan itu kelihatan
semakin jelas. Bahkan jika kita melihat berbagai fakta yang ada, terlihat bahwa
unsur kuasa lebih dominan dari unsur cinta. Kita boleh bercermin dengan negara
kita sendiri. Negara, yang dalam perkembangannya di identikkan dengan
pemerintah, penguasa, state, memang boleh diakui telah memperhatikan nasib
rakyatnya. Namun sayang, projeksi dari rasa cinta negara itu seringkali tidak
sebanding dan seimbang dengan rasa kuasa yang timbul.
Rakyat diberi makan melalui peluang-peluang pekerjaan, tetapi tidak boleh
menuntut lebih banyak. Tidak boleh bercakap terlalu banyak tentang ini dan itu,
kerana tidak sesuai dengan budaya sendiri, tidak boleh berbuat ini dan itu,
kerana boleh mengganggu stabiliti. Dengan alasan demi kepentingan dan kebaikan
rakyat, negara mengatur, mengawal, menguasai, bahkan menindas, yang semua itu
tidak lain adalah projeksi rasa cinta negara terhadap dirinya sendiri, terhadap
kekuasaannya, terhadap status-quo.
Dari realiti di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa cinta yang ada
selama ini selalu berbalut erat dengan kuasa. Rasa cinta selalu diiringi dengan
penguasaan, pengaturan, yang justru boleh mengaburkan tentang adanya cinta.
Cinta bukan lagi pengorbanan, tetapi tuntutan. Dan jika tuntutan tidak dipenuhi,
seringkali terjadi kekerasan, baik kekerasan fizikal mahupun psikologi, yang
sangat bertentangan dengan prinsip dasar cinta yang ramai, penuh kasih dan penuh
kedamaian.
Cinta yang terbalut erat dengan kuasa dan dominasi itu oleh Erich Fromm
didefinisikan sebagai akibat dari pemahaman keliru tentang cinta. Selama ini,
cinta dianggap sebagai sesuatu yang dapat dimiliki, dimana dari itu muncul
naluri untuk mengatur dan menguasai. Cinta dalam masyarakat sekarang adalah
cinta yang didasarkan pada modus memiliki (to have) dan bukan didasarkan pada
modus menjadi (to be).
Yang ada dalam masyarakat sekarang adalah keinginan untuk memiliki cinta,
bukannya keinginan untuk mencintai. Dengan modus ingin memiliki (to have) ini,
cinta menjadi beku dan tidak membebaskan, kerana ada yang menjadi subjek dan ada
yang menjadi objek, ada yang menguasai dan ada yang terkuasai.
Menurut Erich Fromm cinta harus mengandung unsur pembebasan dan pemerdekaan,
bukan penguasaan apalagi penindasan. Untuk mewujudkan cinta yang membebaskan ini
- Erich Fromm menyebutnya sebagai cinta produktif - harus memiliki elemen-elemen
dasar yaitu: perlindungan, tanggung-jawab, penghormatan dan pengetahuan.
Begitulah sedikit sebanyak yang telah dihuraikan oleh Erich Fromm dalam bukunya
Man for Himself, 1947.
Perlindungan dan tanggungjawab menunjukkan bahwa cinta adalah sebuah aktiviti
dan bukan sebuah nafsu dimana olehnya orang terkuasai, dan bukan sebuah pengaruh
(affect) yang mana orang terpengaruh olehnya. Dalam perlindungan dan tanggung
jawab yang ada hanya kerelaan untuk berbuat dan berkorban, tanpa diwarnai
tuntutan untuk diakui, diikuti, ditaati, apalagi ditakuti.
Ibubapa yang mencintai anaknya berbuat untuk anaknya tanpa keinginan agar si
anak taat dan patuh kepadanya, mengakui autoriti dan kekuasaannya sebagai
orangtua. Negara pun begitu. Negara yang mencintai rakyat adalah negara yang
berbuat untuk rakyat, berkorban untuk rakyat, berbicara atas kepentingan rakyat,
dan bukan negara yang selalu ingin dipatuhi dan ditakuti oleh rakyat dengan cara
menetapkan berbagai peraturan yang tidak memerdekakan rakyat. Pencekalan,
kezaliman serta pelarangan untuk berpendapat, bersuara dan bersyarikat
(mempunyai kesepakatan) adalah watak-watak yang melekat dalam sesebuah negara
yang tidak mencintai rakyatnya.
Perlindungan dan tanggung jawab adalah unsur asas dari cinta. Dari situlah
cinta dapat dinilai, apakah yang ada memang cinta atau hanya keinginan untuk
memiliki dan menguasai. Namun cinta akan membusuk dan layu jika hanya didasari
pada semangat perlindungan dan pertanggungjawapan sahaja, tanpa diiringi dengan
dua unsur lainnya, iaitu penghormatan dan pengetahuan.
Dengan penghormatan, diharapkan cinta akan terbebas dari penguasaan, karena
penghormatan menunjukkan pengakuan atas autonomi yang dicintai. Penghormatan
diorientasikan untuk mengikis rasa kepemilikan dan penguasaan yang dapat muncul
dari aktiviti perlindungan dan tanggungjawab. Ini tidak lepas dari kecenderungan
masyarakat - apalagi lembaga kekuasaan - sekarang, yang merasa punya hak ketika
sudah berkorban untuk orang lain.
Namun penghormatan akan buta jika tanpa pengetahuan atas yang dicintai. Di
sini dituntut adanya sikap jujur dan realiti dalam menyingkapi dan mengamati,
menghormati dan melindungi yang dicintai. Dalam konteks kebangsaan, ini boleh
dikaitkan dengan nasionalisme. Nasionalisme selama ini difahami sebagai
kecintaan dan pembelaan yang membabi-buta terhadap bangsa sendiri, tanpa
kejujuran untuk bercerminkan diri. Kemunculan nasionalisme yang membabi-buta ini
kelihatan dari ada-nya ungkapan right or wrong is my country. Maka cukup
beralasan jika Erich Fromm dalam The Sane Society -nya menyebut nasionalisme
sebagai inzes zaman ini, berhala kita, ketidak-sihatan, yang dipuja melalui
patriotisme. Patriotisme yang dimaksud Fromm adalah sikap meletakkan bangsa
sendiri di atas kemanusiaan, di atas prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan.
DARI apa yang terungkap di atas, kita melihat bahwa elemen-elemen dasar dari
cinta boleh menjadi dasar bagi terciptanya sebuah kekuasaan yang ramah, adil dan
bertanggungjawab. Jika kita disuruh memilih antara kekuasaan yang berdasarkan
cinta dan kekuasaan yang berdasarkan logik kuasa, maka tentu kita akan memilih
yang pertama. Hanya orang-orang 'gila' saja yang akan memilih yang kedua.
Kekuasaan yang berasaskan nilai-nilai cinta akan mampu mengambil hati rakyat,
memenuhi keperluan dan kepentingan rakyat. Sedang kekuasaan yang berasaskan atas
semangat naluri kuasa hanya akan menimbulkan kesenjangan, ketidak-adilan,
sentralisasi kekuasaan untuk kepentingan golongan, parti, keluarga, bahkan
seseorang individu.
Kekuasaan yang dibangun di atas semangat kuasa hanya akan menciptakan
kekuasaan ala Fir'aun, yang tega membunuh anak-anak bangsanya demi kepentingan
dan kelanjutan kekuasaannya. Politik yudzabbihuna abna'akum (menyembelih
anak-anaknya sendiri), itulah yang akan terjadi.
Untuk menilai sebuah kekuasaan apakah ia dibangun di atas cinta atau
kekuasaan, sebenarnya boleh dengan cara melihat sejauh mana kekuasaan itu
dicintai oleh rakyatnya. Jika rakyat masih banyak yang menangis, berteriak dan
menjerit, tidak puashati dan jengkel, maka kita patut meragukan bahwa kekuasaan
itu dibangun di atas prinsip cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar