Sampah ternyata nggak hanya menjijikkan, dan sumber penyakit, tapi juga sumber sengketa. Kalau dibilang begitu kayaknya nggak salah deh. Gimana nggak, tempo hari sampah jadi omongan orang banyak, jadi pembicaraan di parlemen sampai sidang kabinet.
So, ternyata sampah bukan lagi urusan pemulung melainkan sudah jadi urusannya gubernur sampai ke meja presiden. Seperti yang terjadi tempo hari ketika warga Bojong, Bogor protes lantaran mereka nggak terima daerahnya dijadiin Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) atas sampah Jakarta. Wajar kalau tempat pembuangan sampah itu jadi masalah politik, jadi masalah besar. Ternyata kita semua lupa kalau ada nasehat klasik bilang; jangan buang sampah sembarangan. Dan sekarang nasehat itu harus ditambah lagi jadi ’jangan buang sampah sembarangan, apalagi kalau di daerah orang. Sebab mereka yang berada di pinggiran Jakarta juga manusia. Wajar kalau mereka berontak dan wajar pula kalau akhirnya mereka sakit hati. Gimana nggak kecewa, bukan kue pembangunan yang mereka dapat melainkan puluhan truk sampah yang baunya minta ampun. So, ini masalahnya adalah lukanya perasaan warga di pinggiran kota Jakarta. Mereka yang ada di Bekasi, di Bojong, di Tanggerang dan daerah lainnya.
Yang mereka inginkan bukan sampah melainkan sesuatu yang bisa dimakan yang bisa membuat perutnya kenyang, sesuatu yang bisa membuat mereka bertahan hidup dan menyambung nafas. Yang mereka perlukan bukan limbah melainkan kesempatan untuk bisa menikmati hasil pembangunan. Siapa sih yang nggak sakit hati dikirimi bungkusan mie sementara mienya sendiri nggak pernah mereka cicipi? Siapa yang nggak nyesek kalau harus mengurus timbunan sampah warga Jakarta yang menggunung setiap harinya? Meminjam syair lagunya Seurieus; ...mereka juga manusia/punya hati punya rasa/jangan samakan dengan pisau belati.... Ini syair harus sering di dengungkan di telinga Pak Gubernur, biar nggak mengulang kesalahan yang sama untuk keduakalinya, biar nggak seenaknya ngelempar sampah ke pekarangan orang lain dan biar nggak sembarangan main tunjuk wilayah yang dijadikan tempat pembuangan akhir. Logikanya, kita yang makan kita pula yang harus membersihkan sisa makanan itu. Jangan orang lain, bukan cuma nggak sopan tapi nggak tau diri. Apa pemda dan warga Jakarta sudah terlalu bodoh hingga nggak punya solusi dalam mengatasi masalah sampah yang dihasilkan dari perutnya sendiri? Haruskah orang lain yang nggak tau apa-apa yang mengurusinya. Kalau tidak mau dan tidak mampu mengelola sampah, mbok ya nggak usah ada yang dibuang. Artinya kalau makan kue, makan mie atau permen sekalipun ya sekalian makan aja bungkusnya, itung-itung menggurangi volume sampah jadi nggak terlalu menumpuk, setuju ?
Sekali lagi, jangan pernah memberikan mereka sampah dari makanan yang tidak pernah mereka makan. Jangan pernah membuang kemasan minuman dari minuman yang nggak pernah mereka reguk. Jangan pernah melempar sampah di depan muka mereka saat mereka kelaparan, saat kesenjangan sosial masih begitu menganga dan di saat mereka miris menyaksikan gemerlapnya ibu kota sementara tanah yang mereka pijak dan udara yang mereka hirup bertolak belakang dengan apa yang ada di sana, di ibu kota, di Jakarta Raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar